Wednesday, October 15, 2008
Sang Pemetik Gambus
Aksi sang pemetik gambus Habib Muhammad bin Ahmad AlHabsyi. Habib Muhammad adalah keponakan Habib Alwi AlHabsyi Barabai (Kapten Arab). Habib Muhammad merupakan musisi gambus senior dari kalangan habaib di Kalsel yang masih eksis dan kerap tampil unjuk kebolehan di berbagai acara. Pada acara halal bihalal keluarga habaib, Sabtu (11/10), Habib Muhammad menjadi salah satu bintang saat mengiringi olah vokal para biduan/biduanita Orkes Gambus An-Nasyik. Berikut beberapa penampilan Habib Muhammad tatkala berkolaborasi dengan tarian japin Habib Abdullah Al-Kaff dan mengiringi vokal Syarifah Raguan Barakbah saat melantunkan lagu Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Musik Pengiring Zapin
Oleh Zuarman Ahmad
PADA mulanya, zapin, bukanlah merupakan genre musik, tetapi dikenal sebagai tari. Menurut cerita lisan seorang pemusik biola, Sarkam, di Siak Sri Indrapura, zapin berasal dari kata ‘’langkah kaki’’, yakni berasal dari bahasa Arab, zafin (langkah, melangkah), zaf (alat petik berdawai 12), dan al-zafn (mengambil langkah atau mengangkat satu kaki). Pada waktu itu zapin hanya ditarikan di istana raja, di rumah tengku-tengku, keturunan bangsawan, dan kerabat kerajaan atau pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Setelah berakhirnya abad kerajaan Siak, barulah zapin ditarikan di luar istana dan kemudian berkembang hingga ke masa kini. Jika dilihat dari alat musik (instrument) yang dipakai pada tari zapin ini atau dai maqan (maqam) melodi lagunya, tidak dapat dipungkiri bahwa kesenian ini berasal dari Timur-Tengah. Bahwa, para peneliti sepakat mengatakan zapin dibawa oleh para pedagang-pedagang beragama Islam dari Semenanjung Arabi, Persia, Gujarat dan India. Hal ini dapat ditandai dari perkembangannya di Nusantara, terutama umumnya suku Melayu di kawasan pesisir dengan berbagai-bagai nama tempatan, seperti kata zapin di Riau, Malaysia dan Deli, dana-sarah di Jambi, bedara di Lampung, zafin di Jawa pesisir dan Madura, jepin atau jepen di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, dana-dani di Nusa Tenggara. Zapin di pesisir Jawa, Madura, dan Nusa Tenggara hanya dikenal pada masyarakat keturunan Arab.
Musik (istilah Melayu: bunyi-bunyian) pengiring tari zapin tradisional ini terdiri dari alat-musik: sebuah gambus yang disebut dengan gambus selodang, dan beberapa buah gendang.
Gambus Selodang
Gambus zapin Melayu ini adalah alat-musik menyerupai ud (oud) di Timur Tengah berbentuk seludang kelapa yang dibuat dari batang nangka. Pada tengah-tengah resonator-nya ditutup dengan kulit sapi, kerbau atau kulit kambing yang sudah diraut tipis. Junlah dawai gambus selodang ini adalah 7 (tujuh) yang semuanya disetel berpasangan kecuali senar paling atas (nada paling rendah) batang petikan, tetapi pada akhir-akhir ini ada kemungkinan bertambah menjadi 9 (sembilan) atau 11 (sebelas), seperti pada ud Arab.
Pada mulanya dawai ud Arab dibuat dari usus binatang (gut) atau dari sutera yang pernah dikerjakan oleh orang Persia-Perbatasan Cina, tetapi senar ud awal ini telah digantikan oleh nilon. Sedangkan gambus selodang sekarang ini dipakai dawai gitar atau juga tali nilon. Penyetelan dawai biasanya menggunakan nada C atau D untuk senar kesatu, yakni ADGC atau BEAD, dengan masing-masing jarak 2 ½ nada, yaitu interval jarak dari nada awal menuju ke bawah (makin rendag), disebut kwart murni. Pemetik awal dipakai dari tanduk yang diraut sehingga fleksibel ketika dimainkan dengan tangan kanan. Orang Arab menamakan pemetik atau pemeting gambus ini dengan risha, dan mizrap oleh orang Turki. Biasa juga digunakan bahan dari plastik, map, atau juga sekarang dipakai pemetik gitar yang agak lembut.
Ud kemungkinan berasal dari Persia, yang merupakan alat-musik keemasan bangsa Arab. Sedangkan gambus selodang, biarpun asal-muasalnya dari Timur Tengah juga, tetapi sudah merupakan milik orang Melayu.
Menurut cerita mitos yang didapat oleh Sarkam dari Wan Syeikh Ali, berasal dari Nabi Daud, yang meniru betis perempuan (isterinya) yang terlihat ketika sedang menari di depan Daud. Kepala gambus disebut dengan istilah tapak-kuda atau merupakan telapak kaki perempuan, sedangkan badan gambus yang berfungsi sebagai resonator berasal dari meniru betis perempuan.
Marwas
Marwas, atau disebut juga dengan meruas, merwas, adalah alat-musik jenis gendang yang sangat berfungsi dan berarti sebagai pengatur tempo atau rentak. Dalam satu ensembel musik zapin biasanya memakai tiga marwas dan sebanyak-banyak tidak ditentukan. Sebagai pengatur tempo alat musik marwas yang dalam kebudayaan Melayu digunakan untuk mengiringi tari zapin bersamaan dengan alat musik gambus selodang yang disebut dengan ‘ud di Semenanjung Arabia. Jika dilihat dari sejarah awalnya, musik rentak ini berasal dari kawasan Timu-Tengah, tepatnya Quwait dengan istilah tempo atau rentak iramanya disebut dengan quwati.
Bentuk alat musik perkusi marwas ini terdiri dari dua muka. Bahan yang dipergunakan untuk membuat badan marwas atau gendang zapin yang berfungsi sebagai resonator umumnya dibuat dari batang kayu cempedak, ciku, atau durian, dengan diameter lebih-kurang 15 hingga 20 sentimeter. Penutup kulit badan marwas terbuat dari kulit kambing atau kulit sapi yang ditipiskan, diikat dengan tali rotan, tali kambing, atau talu yang terbuat dari kulit sapi, pada lingkaran penarik yang dilingkar dengan kawat pada kedua permukaannya. pengikat berfungsi untuk menegangkan (menyetel) antara dua permukaan sehingga menimbulkan bunyi yang dikehendaki. Sekarang pengikat ini dibuat tali nilon. Sebagai pegangan untuk tangan kiri ditaruh tali yang sedapat mungkin tidak membuat jari-jari sakit, biasanya jenis tali yang terbuat dari bahan yang lembut seperti bahan kain atau sumbu kompor. Alat musik merwas termasuk ke dalam klasifikasi alat musik membranofon (sumber bunyi selaput atau kulit) dua sisi, yang dipukul dengan dua telapak tangan pemainnya. Jadi, bahan untuk membuat marwas terdiri dari: (1) batang pohon cempedak, ciku, atau durian yang berfungsi sebagai badan marwas; (2) kulit kambing yang berfungsi sebagai membran; (3) rotan, tali yang terbuat dari kulit sapi atau kambing, atau tali nilon, yang berfungsi sebagai pengikat antara membran muka satu dengan muka dua; (4) tali yang terbuat dari kain atau sumbu kompor, yang berfungsi sebagai pemegang marwas untuk ibu jari tangan kiri.
Tempo atau rentak zapin Melayu memakai 4 (empat) ketukan dasar setuap beat-nya. Pola ritme dasar pukulan 1 (pertamanya) jatuh di down beat pada onomatopeik tung, sedangkan pada ketukan dasar 2 (kedua), 3 (ketiga), dan 4 (Keempat) masing-masing pada pukulan up beat onomatopeik tak, tung, dan pak. Masing-masing pada ukuran pemain marwas 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga), dst-nya memberikan variasi atau inprovisasi. Pada saat tertentu intensitas bunyi dilemahkan, dan pada saat yang lain dikuatkan. pemain marwas 1 ( satu) sebagai pola ritme dasar yang disebut juga dengan penyelalu. Pemain marwas 2 (dua) dan 3 (tiga) peningkah marwas 2 (dua), dan seterusnya. Rentak dengan intensitas yang dikuatkan disebut dengan tahtum/tahto atau santing. Tahtum/tahto atau santing berbunyi dengan suara pak.
Bunyi marwas tung dihasilkan dengan cara memukul jari telunjuk kanan ke membran sebelah atas, antara tepi dan tengah merwas, sementara jari-jari tangan kiri yang sebelah membran bawah dibuka untuk menimbulkan suara tung yang jelas.
Bunyi marwas tak dihasilkan dengan cara memukul satu ata dua jari telunjuk dan jari tengah, atau jari telunjuk saja ke membran sebelah atas pada sisi tepi merwas, sementara jari-jari tangan kiri yang sebelah membran bawah dirapatkan dengan membran.
Bunyi merwas pak dihasilkan dengan cara memukul seluruh jari tangan kanan ke membran sebelah atas antara sisi tepi hingga ke sisi tengah membran. Separuh dari telapak tangan kanan berada di sebelah luar membran merwas dan separuhnya lagi beserta seluruh jari tangan kanan berada di sisi tepi hingga sisi tengah merwas. Ketika tangan kanan ini sampai ke membran sebelah atas merwas ujung-ujung jari diangkat sedikit ke atas sehingga menimbulkan bunyi pak yang jelas dan yang dikehendaki sesuai dengan tekniknya sehingga tidak menimbulkan rasa sakit pada tangan kanan.
Rentak zapin dari dasar bunyi marwas dalam musik tari zapin terdiri dari pola ritme pukulan marwas yang terdiri dari motif satu bar (birma) yang dibunyikan berulang-ulang, bertempo agak cepat yaitu dengan metronome sekitar 80-120 ketukan dalam satu menit (M.M.=80-120), dan susunan durasi not seperempat, dan not seperdelapan. Dalam satu siklus terdiridari 4 ketukan, dengan warna bunyi tung, tak, dan pak; yang dinomisasi dengan aksen bunyi tak dan tung.
Langkah-langkah Rentak dan Melodi Iringan Tari Zapin Tradisi
Langkah-langkah kaki menari zapin dimulai dari Selo Sembah yaitu sebagai penghormatan kalau menari di depan raja. Selo Sembah ini dimulai dari melodi lagu solo gambus selodang yang akan dinyanyikan, biasanya oleh pemain gambus itu sendiri.
Berikutnya, ketika pemain gambus memulai lagu, yang biasanya dari vokal bait pertama yang ditingkah dengan marwas, maka penari zapin mulai melangkah dari alif satu, yaitu sut tiga kali ke depan, sut di tengah satu sebanyak lima kali yang disebut dengan permulaan menari; maknanya sebagai lambang dari rukun Islam ke Lima. Seterusnya alif dua dengan langkah sut depan dua kali dan sut tengah satu kali sebanyak dua kali yang disebut dengan awal menari atau minta izin menari; artinya sebagai lambang dari dua kitab suci, Al-Quran dan Hadist. Zapin tradisional Siak yang berasal dari istana umumnya ‘’menggenggam tangan kiri’’ ketika menari zapin, maknanya memegang amanah allah, yaitu Muhammad memegang amanah dari Allah. Tangan kanan biasanya melenggang sesuai dengan irama langkah kaki. selain menggenggam tangan kiri sebagai cirinya, zapin Siak lebih dikenal dengan genjo atau enjut-nya, seperti staccato atau synkop dalam istilah musik.
langkah (jalan) zapin yang terdiri dari 4 (empat) langkah yang melambangkan sifat rasul dari setiap geraknya. Langkah ini merupakan syariat yang bertalian dengan ruh yang menegakkannya. Setiap langkah zapin mempunyai bunga zapin. Bunga zapin ada 13 (tigabelas) gerak, yakni sebagai lambang rukun sembahyang sebanyak 13 (tigabelas), diakhiri dengan pecah lapan sut yang artinya mengakhiri mengambil air sembahyang.
Bungo Alif yaitu awal membuat bungo (bunga) terdiri dari tiga belas bungo yang setiap bungonya mengandung makna tertentu. Bungo Alif zapin yaitu bungo alif, geliat, pusing tengah, siku keluang, pusing sekerat, anak ayam patah, pecah lapan, pusing tak jadi, tongkah (melawan arus), tahto terjun, sut tiga kali depan, sut maju mundur, pecah lapan sut.
Ketika menari zapin berlangsung, lagu dinyanyikan bait per bait. Di antara bait satu lagu ke bait lainnya, penabuh marwas mengeraskan permainannya yang disebut dengan santing atau doguh, yang dalam istilah musik disebut dengan forte (dibunyikan dengan suara keras), maknanya sebagai lambang mengambil semangat atau naik syeikh bagi penari zapin.
Keterangan Partitur: garis paranada pertama adalah bunyi pak (forte), paranada kedua bunyi tak, paranada ketiga bunyi tung.
Tidak ada ketentuan berapa bait lagu dinyanyikan dalam iringan tari zapin. Apabila penari akan selesai menari, mereka akan memberi tanda untuk minta berhenti kepada pemusik atau terutama kepada pemain gambus yang disebut dengan tahto atau tahtim (sembah penutup tari), yang dalam istilah musik umum disebut dengan coda atau ending. Biasanya, kalau penari tidak memberi isyarat untuk minta berhenti, pemusik akan terus bermain, karena menurut mereka penari masih ingin terus menari. Melodi gambus untuk tahto atau tahtim ini tersendiri umumnya sama, baik lagu berbentuk scale (tangga-nada) minor maupun major. Pada waktu tahto atau tahtim ini juga penabuh marwas membuat santing dengan bunyi pak sampai akhir lagu atau tari.
Perkembangan
Tari zapin tradisional diiringi dengan lagu-lagu khusus rentak (tempo) zapin. Biasanya seperti lagu Naam Saidi, Pulut Hitam, Gambus Palembang, Tanjung Balai, Sahabat Laila, Lancang Kuning, Kak Jando, Sayang Cek Esah, Rajo Beradu, Ya Malim (zapin Bismillah), Bungo Cempako, dan lain-lain. Pemeting (pemeting) gambus, biasanya sekaligus sebagai penyanyinya. Lagu-lagu zapin umumnya memakai birama 4/4, kecuali birama 3/4 dalam zapin Ya Umar yang sudah langka dan tidak dipakai lagi, selain susah dan tidak adanya lagi penari dan penyanyi yang dapat memainkannya.
Pada mulanya, zapin tradisional (terutama di Siak dan Pekanbaru) ditarikan oleh 2 (dua) orang lelaki, dan baru kemudian berkembang setelah keluar dari istana, seperti penarinya melebihi dua orang, dan selanjutnya, tidak lagi hanya memakai penari lelaki, tetapi sudah ditarikan oleh perempuan, atau campuran laki-laki dan perempuan. Alat musik pengiringnya berkembang dengan penambahan gendang bebano dan tambur pada beat-nya, dan penambahan instrumen biola dan akordion pada melodinya, namun untuk tari zapin tradisi tetap memakai gambus selodang daan marwas.
Tempo (rentak) tari zapin dan musiknya juga sudah mengalami perkembangan dengan perubahan dari tempo sedang ke tempo cepat, dimulai sejak lebih-kurang tahun 1994, yakni ketika penulis membuat musiknya bersama Pusat Latihan Tari Laksemana, yaitu tari Ya Zapin Ya Umar, dan bersama sanggar tari Dang Merdu, hingga berkembang sampai sekarang, kreasi gerak dan musik zapin cepat ini masih dipakai. Secara nasional, seharusnya lebih diapresiasikan lagi oleh pemerhati zapinm ketika tempo dan gerak zapin cepat ini ditata pada tari pembukaan MTQ Nasional XIV 1994 yang tampak secara jelas telah mengkreasikannya dengan beat atau irama joget. Penulis termasuk yang pertama - dalam konteks ke-Riau-an - memodifikasi jenis tempo ini dari yang semula (bentuk tradisi) dari irama atau beat zapin, lalu mengambil unsur irama lain yang lebih cepat, misalkan saja irama joget, walaupun beat ini untuk kelompok-kelompok marawis di Nusantara tidaklah merupakan sesuatu yang baru lagi, apalagi dari kawasan asalnya, Timur Tengah.
Tetapi, ada hal yang lebih penting dalam pemahaman zapin sebagai unsur kebudayaan masyarakat itu sendiri. Dan lebih lagi ini perlu diperhatikan oleh lembaga pemerintah dan dunia perguruan-tinggi, khususnya perguruan-tinggi seni (misalnya, Akademi Kesenian Melayu Riau) atau lembaga yang memiliki program seni (Sendratasik UIR). Zapin tidak hanya melulu diapresiasikan sebagai aktivitas menari dan bermusik, namun juga sebagai bagian dari budaya masyarakat perlu juga dikaji atau ditelaah, baik persoalan filosofinya, juga konteks sejarah dan sosial yang melingkupinya, sehingga zapin berkembang tidak dalam keadaan latah dan gamang. Bayangkan saja, hingga perkembangannya saat ini, ada kecenderungan kita tidak peduli tentang bagaimana para tokoh dan para senimannya memperjuangkan seni ini. Hal yang semacam ini saja telah terabaikan, lalu apalagi yang lebih mendasar dari nilai yang melingkupinya itu sendiri.
Dan, kita pun telah melupakan tokoh-tokoh zapin tradisional Siak Sri Indrapura seperti Abdurrahman, Sani, Wan Dolah, Wan Syeikh Ali (ayah Wan Dolah), Cek Kunden, sebagai pemain gambus sekaligus penyanyi, Amin B dabn Sulung Nantan sebagai penari. Juga, tokoh pezapin di Pekanbaru, seperti M Sani Burhan, S Berrien, Tengku Indra Putra, Adan, dan lain-lain. Bagaimana pun mereka patut dicatat, sebagai tonggak sejarah, tokoh, seniman tari dan musik zapin; mengetengahkan suatu genre tari atau seni yang disebut dengan zapin. ***
Pustaka:
- Perbincangan di Suatu Petang, bersama Wak Sarkam di Siak Sri Indrapura, 2003.
- Music an Illustrated History, An encyclopedia of musical instruments and the art of music-making oleh Max Wade-Matthews.
- Indonesia Heritage, Seni Pertunjukan: 2002
- Pengalaman sebagai pengiring tari, belasan tahun.
- Berbagai makalah dan buku tentang musik.
tradisinya.
-Ouds, David Brown
*Dikutip dari majalah budaya Sagang, Pekan Baru, Riau
Post a Comment